Selasa, 17 Maret 2009

HARI HARI YANG INDAH BAGIKU

Hari yang indah dalam hidupku

Bagiku, hari yang indah adalah hari disaat kita dapat memiliki dunia kita, tetapi kita tidak dikuasai olehnya. Dialah hari ketika kita dapat mengendalikan hawa nafsu dan kesenangan kita, bukan hari ketika kita diperbudak olehnya dalam keadaan dikalahkan dan tunduk patuh kepadanya.

Diantara hari-hari itu, yang selalu ku ingat dan tidak pernah kulupakan adalah :

“Hari yang indah saat aku berhasil mengalahkan hawa nafsuku dan aku terbebas dari bencana keraguan terhadap hal-hal baik yang dapat kuatasi atau yang tidak dapat kuatasi, maka itulah hari yang paling indah bagiku”

“Hari yang indah saat aku terombang ambing diantara pujian orang lain dan pekerjaan yang tidak seorangpun menanggapinya dengan pujian atau mau tahu dengannya. Maka ku tepiskan semua pujian itu dan aku merasa puas dengan pekerjaan yang selalu kuingat sepanjang hidupku tanpa ada seorangpun yang mengetahuinya”

“Hari yang indah saat diriku dihujani oleh pujian, sedang perasaanku kosong dari kehormatan maka aku lebih memilih kosongnya kedua tanganku daripada kosongnya perasaanku”

“Hari-hari ini memang indah, tetapi yang lebih indah daripada semuanya ialah saat peranku sangat sedikit di dalamnya kecuali hal yang berkaitan dengan kesadaranku tentang kemampuanku dalam mengendalikan diri untuk menangani pekerjaanku. Hal ini berarti aku harus terus bersyukur kepada Allah karena berarti aku masih dapat berbuat banyak”.

MENUJU PENDIDIKAN YANG RELEVAN DAN BERMUTU

I. PENDAHULUAN

Pendidikan adalah masalah bagi setiap orang. Setiap kali selalu saja muncul berbagai keluhan tentang pendidikan, baik kurikulumnya, sistemnya, tenaga pendidiknya, dan sebagainya. Setiap orang selalu menuntut dan menginginkannya lebih. Tidak mengherankan karena pendidikan harus berubah seiring dengan perubahan zaman dan perkembangan teknologi. Sebaliknya, kedua hal ini pun sangat terkait dengan hal yang pertama. Dari berbagai keluhan dan ketidakpuasan, sebenarnya terungkap satu keinginan yang sama yaitu Pendidikan Nasional yang sesempurna mungkin untuk menghasilkan manusia-manusia Indonesia yang cerdas, terampil, berkepribadian Indonesia dan patriotic.

Adalah satu tantangan besar bagi para pemikir, perencana dan pelaksana pendidikan untuk merencanakan dan mengembangkan system pendidikan nasional yang relevan dengan tuntutan masyarakat yang sedang membangun. Tuntutan masyarakat akan pendidikan yang bermutu dan relevan telah mengisi pemberitaan dan pembicaraan diberbagai kalangan yang berkepentingan terhadap usaha peningkatan mutu dan relevansi pendidikan.

Kemudian, mencerdaskan kehidupan bangsa juga merupakan salah satu misi berdirinya Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang 1945. Diletakannya usaha mencerdaskan bangsa, di samping memajukan kesejahteraan umum, melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasrkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social, dapat diartikan sebagai adanya pandangan dasar para pendiri republic bahwa kurangnya kecerdasan diantara bangsa Indonesia sebelum kemerdekaan merupakan salah satu factor yang memungkinkan bangsa Indonesia dengan mudah dipecah belah dan dikuasai oleh kaum penjajah yang jumlahnya sedikit dan datang dari negeri yang jauh, untuk jangka waktu berabad-abad. Juga timbul kesadaran bangunan Negara Republik Indonesia tidak mungkin lestari dan maju tanpa didukung oleh manusia-manusia yang cerdas. Karena itu pula nampaknya, betapa pemerintah Republik Indonesia sejak proklamasi kemerdekaan, telah memberikan tekanan kepada kebijaksanaan perluasan kesempatan memperoleh pendidikan bagi seluruh rakyat.

Sorotan pada umumnya ditujukan kepada keraguan tentang kemampuan para lulusan untuk terjun ke masyarakat dan mengikuti pendidikan yang lebih tinggi. Atau dengan kata lain, sorotan terutama ditujukan kepada masalah relevansi pendidikan dengan tuntutan masyarakat.

II. MENUJU PENDIDIKAN NASIONAL YANG RELEVAN DAN BERMUTU

A. Sekolah Adalah Lembaga Pendidikan Yang Secara Potensial Memiliki Peranan Paling Strategis

Setiap masyarakat memiliki harapan tentang kemampuan, sikap dan berbagai nilai yang harus dimiliki para anggotanya. Pendidikan adalah proses yang diharapkan mampu menumbuhkan dan mengembangkan segala kemampuan, sikap, dan nilai tersebut. Akan tetapi, disadari adanya keterbatasan lembaga pendidikan sekolah. Sekolah hanyalah satu dari berbagai lembaga pendidikan yang dapat mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan generasi muda menuju kekedewasaannya. Keluarga, lembaga pendidikan agama, organisasi politik, pusat-pusat kesenian dan hiburan, media masa, pergaulan dengan sesama, dan sesama masyarakat adalah berbagai lembaga dan situasi social yang dapat mempengaruhi perkembangan generasi muda. Diantara kesemuanya itu, sekolah dipandang sebagai lembaga social yang dapat direncanakan dan diawasi proses pengaruhnya. Dalam hubungan itu diterima pandangan tentang sekolah sebagai suatu lembaga social yang diberi tugas untuk mengabdikan dirinya kepada proses belajar mengajar dengan tenaga pengajar khusus, dengan fasilitas fisik khusus, dengan alat pendidikan, dengan kurikulum dan tujuan pokok yang dirumuskan secara tegas dan rasional.

Dalam hubungan ini, penulis memandang bahwa sekolah adalah bagian fungsional dari keseluruhan kehidupan masyarakat. Ia tidak menentukan arah perkembangan masyarakat, tetapi ikut menentukan dan memberikan sumbangan bagi perkembangan masyarakat melalui manusia terdidik yang dilahirkan dengan kemampuan dan sikap yang serasi dengan harapan pembangunan. Sekolah memperoleh peranannya dari masyarakat. Atas dasar tersebut sekolah merupakan lembaga yang secara potensial paling strategis bagi pembinaan generasi muda. Digunakannya istilah potensial tidak lain karena sekolah tidak dengan sendirinya memiliki kemampuan, melainkan sekolah perlu dibina dan direncanakan secara sistematis dan sistemik untuk dapat melaksanakan peranannya.

Masyarakat yang sedang berkembang memiliki beberapa ciri antara lain, masyarakat itu berada pada tingkatan yang berbeda dengan keadaan yang dicita-citakan. Masyarakat itu sedang mengubah diri, sedang memperbaharui diri, berusaha meninggalkan segala pranata social yang dianggap menghambat tercapainya tujuan. Masyarakat yang sedang membangun adalah masyarakat yang ingin meninggalkan segala kebiasaan dan tradisi yang telah menyebabkan kemelaratan, menuju masyarakat baru yang dapat dijadikan landasan bagi tumbuhnya tata kehidupan yang dicita-citakan. Oleh karena itu, kita mengenal dalam kerangka pembangunan nasional Indonesia istilah membangun masyarakat seluruhnya dan manusia seutuhnya. Kitapun, sejak proklamasi kemerdekaan mengenal cita-cita untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

B. Sistem Kurikulum Adalah Unsur Strategi Yang Menentukan Dapat Berperannya Sistem Pendidikan Sekolah Secara Relevan, Efektif Dan Efisien

Hal yang esensial dari suatu lembaga pendidikan sekolah adalah terjadinya proses belajar. Gedung, guru, sarana pendidikan dan berbagai fasilitas pendidikan lainnya tidak akan berarti tanpa adanya suatu proses belajar yang direncanakan untuk mencapai tujuan pendidikan yang dibebankan pencapaiannya oleh lembaga pendidikan lembaga pendidikan sekolah. Semua instrumental inputs hanya berarti sepanjang menunjang terlaksananya proses belajar yang relevan dan berkualitas. Proses belajar yang berkualitas dan relevan tidak dapat terjadi dengan sendirinya, melainkan perlu direncanakan dan deprogram.

Dimensi pertama dari system kurikulum adalah tujuan pendidikan yang dibebankan pencapaiannya kepada pendidikan sekolah. Ditekankan disini istilah yang dibebankan pencapaiannya kepada sekolah mengingat bahwa sekolah perlu dibatasi tanggungjawabnya dan bahwa ada lembaga pendidikan lainnya yang lebih efektif dalam mencapai suatu tujuan pendidikan. Oleh karena itu, pada tingkatan proses pemilihan tujuan pendidikan dan penetapan tujuan-tujuan pendidikan sekolah perlu dilakukan secara sistematis. Kalau tidak demikian, dapat terjadi tujuan-tujuan pendidikan yang ditetapkan bukan tujuan yang paling tepat dicapai melalui lembaga pendidikan lainnya.

Di dalam praktik, kurikulum yang merupakan unsure yang esensial strategis dari system pendidikan sekolah itu dilaksanakan dalam waktu yang sangat terbatas. Kurang dari 20% dari keseluruhan waktu hidup anak dalam satu minggunya berada dalam situasi pendidikan sekolah. Oleh karena itu, bila waktu yang terbatas ini tidak dimanfaatkan secara optimal akan terjadi bahwa potensi yang dimiliki sekolah tidak dapat dimanfaatkan secara optimal. Dalam kerangka pemikiran ini maka materi pendidikan yang akan disajikan perlu dipilih lingkup yang paling esensial dan paling ampuh sebagai obyek belajar untuk mencapai tujuan pendidikan yang ditetapkan. Materi kurikulum yang telah dipilih pun tidak dengan sendirinya dapat menciptakan suatu proses belajar yang bermutu tanpa disajikan dalam kerangka strategi belajar mengajar yang memadai. Tujuan yang ditetapkan, materi belajar yang dipilih, dan strategi belajar yang direncanakan belum dapat secara optimal mencapai tujuan tanpa ditunjang oleh suatu system evaluasi dan system administrasi kurikulum yang tepat guna.

Segala dimensi yang sudah dikemukakan, yaitu tujuan pendidikan, materi belajar, strategi belajar mengajar, system evaluasi, dan system administrasi pelaksanaan kurikulum, adalah bagian-bagian terpadu dari system kurikulum. Kurang efektifnya system pendidikan sebagai yang terbukti dari berbagai hasil penelitian, diperkirakan disebabkan oleh tidak ditanganinya keseluruhan system kurikulum tersebut secara sistematik, baik dalam perencanaan, pelaksanaan, dan penilaiannya.

C. Kualitas Proses Belajar Dan Mutu Hasil Belajar Adalah Indikator Strategis Dari Keberhasilan Pelaksanaan Suatu Sistem Kurikulum

Sebagian besar penelitian yang menyimpulkan tentang rendahnya mutu pendidikan menggunakan, sebagai tolak ukurnya, kemampuan para pelajar dalam mengerjakan soal atau menjawab pertanyaan yang diajukan dalam tes prestasi hasil belajar. Prestasi belajar hanyalah salah satu dari indicator dari suatu keberhasilan pelaksanaan system kurikulum pada khususnya dan system pendidikan pada umumnya. Apalagi kalau indicator itu hanya meliputi kemampuan kognitif para pelajar yang diukur dengan menggunakan tes hasil belajar bentuk obyektif. Kelemahan bentuk ini adalah ketidakmampuannya mengukur kemampuan kognitif yang menuntut kemampuan untuk mengorganisasikan secara logis dengan bahasa yang tepat, pengetahuan dan pengertiannya tentang suatu persoalan. Kelemahan lain adalah bahwa penggunaan prestasi hasil belajar yang diukur dengan tes prestasi belajar dapat membawa akibat sampingan, yaitu guru atau pelajarnya, bahkan sekolah yang akan mengutamakan latihan menjawab soal daripada melakukan proses belajar yang sesungguhnya.

Berkembangnya usaha melatih pelajar dalam bentuk bimbingan tes adalah bentuk nyata dari pengaruh sampingan dijadikannya prestasi belajar dalam pengertian kognitif sebagai satu-satunya ukuran keberhasilan. Sistem ini juga diperkirakan dapat mempengaruhi mutu kemampuan pelajar atau lulusan dalam memecahkan masalah yang baru dan komplek, kemampuan pelajar dan lulusan dalam menyajikan pikiran dalam bahasa yang terorganisasikan secara sistematis dan logis, serta kemampuan dan sikap untuk bekerja keras maupun bekerjasama. Berbagai proses belajar yang menuntut kemampuan menyelidik, kemampuan menemukan masalah, memilih cara untuk memecahkan masalah yang dihadapi, kebiasaan bekerja keras, tekun dan teratur, tidak mungkin dapat diukur dengan tes hasil belajar, apalagi yang disusun dalam bentuk obyektif.

Kiranya jelas bahwa proses belajar yang berkualitas yang akan mempengaruhi pembentukan sikap, pembentukan kebiasaan, dan kemampuan-kemampuan kognitif yang tinggi, sukar diukur dengan tes hasil belajar yang sampai sekarang lazim digunakan. Berbagai sikap modern yang dipengaruhi oleh pendidikan sekolah seperti ketelitian kerja, kesediaan untuk memasuki dunia baru, dan perasaan sanggup memanfaatkan alam, serta sikap-sikap lainnya jelas tidak dapat diukur dengan tes hasil belajar. Padahal arti pendidikan sekolah akan tampak terutama bukan pada kemampuan para lulusan dalam menjawab segala pertanyaan seperti yang lazimnya diajukan dalam tes hasil belajar, melainkan pada kebiasaan dan kemampuan bekerja, pada kemampuannya memecahkan masalah secara inovatif, pada motivasinya untuk mencapai hasil, pada rasa kemandiriannya secara pribadi, dan berbagai kemampuan, sikap dan perilaku yang justru sukar dinilai dengan tes hasil belajar, apalagi yang berbentuk obyektif. Sistem penilaian mutu pendidikan dengan semata-mata menekankan pada tes hasil belajar telah mendorong berkembangnya system sekolah. Karena itu, agar sekolah kita menjadi lembaga pendidikan yang berfungsi sebagai pusat kebudayaan di samping mutu hasil belajar, perlu diperhitungkan kualitas proses belajar sebagai indicator lainnya.

D. Sistem Evaluasi Adalah Alat Umpan Balik Dan Alat Pendidikan

Masih belum banyak ahli dan pelaksana pendidikan yang memandang evaluasi pendidikan tidak lebih dari alat umpan balik. Sistem evaluasi sebagai alat umpan balik maupun alat pendidikan adalah bahwa rendahnya mutu pendidikan di samping disebabkan oleh karena pemberian peranan yang kurang proporsional terhadap sekolah, kurang memadainya perencanaan, pelaksanaan dan pengelolaan system kurikulum, dan penggunaan prestasi hasil belajar secara kognitif sebagai satu-satunya indicator keberhasilan pendidikan, juga disebabkan karena system evaluasi tidak secara berencana didudukkan sebagai alat pendidikan dan bagian terpadu dari system kurikulum. Menerima tes dengan norma kelompok norm reference test adalah wujud tidak didudukkannya evaluasi sebagai alat pendidikan. Norm reference test yang memberikan angka berdasarkan kedudukan anak dalam kelasnya, tetapi tidak berdasarkan tingkat penguasaan tujuan pendidikan yang harus dikuasainya, menurunkan kedudukan evaluasi sebagai alat penguatan proses belajar. Menentukan nilai akhir yang dimasukkan ke dalam rapor hanya berdasarkan nilai tes terakhir juga menurunkan kedudukan evaluasi sebagai alat pendidikan, tidak lain karena pembentukan kebiasaan belajar dan bekerja secara teratur, tekun, dan terus menerus tidak diperkuat.

Penggunaan tes bentuk obyektif pada setiap saat juga dapat menurunkan evaluasi sebagai alat pendidikan, tidak lain karena penggunaan cara ini dapat mengendorkan perlunya dilaksanakan proses belajar yang berkualitas dan relevan. Mendudukkan evaluasi sebagai alat pendidikan diartikan sebagai usaha untuk meletakkan evaluasi sebagai bagian dari strategi penguatan proses belajar yang berkualitas dan relevan.

E. Peranan guru dalam system pendidikan

Guru tidak lagi sebagai penceramah dan penyaji informasi, melainkan lebih mengutamakan kemampuannya merencanakan, mengelola, dan mengawasi terjadinya proses belajar yang melibatkan partisipasi para pelajar serta dalam meningkatkan motivasi pelajar untuk belajar keras secara terus menerus. Agar dapat berperan secara demikian, guru harus menguasai materi pelajaran secara mantap, menguasai dan dapat merencanakan berbagai model pembelajaran yang relevan dengan bahan pelajaran pelajar, dan tujuan pendidikan, menguasai dan dapat menggunakan atau mengembangkan berbagai jenis dan bentuk evaluasi kemajuan belajar. Dapat menggunakan dan menafsirkan hasil evaluasi kemajuan belajar untuk kepentingan penilaian dan bimbingan belajar para pelajar, mengenal karakteristik anak didiknya baik sebagai pelajar maupun sebagai manusia yang sedang menuju kedewasaanya, dan memahami kedudukan dan peranan pendidikan sekolah dalam keseluruhan proses pembangunan masyarakat seluruhnya dan manusia seutuhnya.

F. Relevansi Secara Epistemologi, Psikologi, Dan Moral Adalah Ciri-Ciri Dari Pendidikan Yang Relevan Secara Kualitatif

Masalah relevansi telah dijadikan sasaran usaha pembaruan pendidikan sejak pelita I, tetapi sejauh ini belum jelas pengertian tentang masalah tersebut. Tampaknya relevansi sering disoroti dari segi keserasian hasil pendidikan secara kuantitatif dengan kebutuhan masyarakat akan jenis keahlian. Oleh karena itu, orang sering memandang masalah relevansi dilihat dari jenis kacamata jenis pendidikan yang direncanakan dalam hubungannya dengan masalah ketenagakerjaan. Orang akan segera mendapatkan kesan bahwa program pendidikan kita akan relevan bila dikembangkan sekolah-sekolah kejuruan, tetapi kurang dilihat seberapa jauh pendidikan kejuruan yang diselenggarakan telah berhasil melahirkan tenaga dengan kualitas kemampuan dan sikap yang diharapkan.

Masalah relevansi secara kurikuler menyangkut keserasian jenis proses belajar yang dialami para pelajar dengan suasana dan tuntutan masyarakat yang akan dimasuki mereka setelah meninggalkan lembaga pendidikan. Pembinaan manusia yang cerdas, manusia yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, manusia yang dapat membangun dirinya dan masyarakatnya, serta manusia yang memiliki semangat kebangsaan, memerlukan suasana dan proses pendidikan yang relevan. Dalam hubungan ini sekolah sebagai lembaga bagi terjadinya proses sosialisasi dam kulturalisasi berbagai sikap dan kemampuan yang diharapkan dimiliki oleh manusia terdidik untuk dapat menjadi anggota masyarakat yang kreatif, konstruktif dan produktif.

Atas dasar pertimbangan tersebut, masalah relevansi secara kurikuler adalah masalah pengembangan kualitas proses belajar yang memungkinkan terjadinya proses sosialisasi dan kulturalisasi segala sikap dan kemampuan yang diharapkan. Ada tiga relevansi yang berhubungan dengan karakteristik dan kualitas proses belajar, yaitu relevansi epistemology, relevansi psikologi, dan relevansi moral.

Relevansi epistemology berhubungan dengan masalah bentuk komunikasi antar pelajar (orang yang belajar) dengan obyek yang dipelajari. Ditinjau dari relevansi secara epetemologi, pengetahuan yang diperoleh pelajar seharusnya tidak melalui pemberian informasi secara pasif melainkan melalui proses pemahaman tentang apa yang akan diketahui secara kritis. Melalui bentuk komunikasi antara pelajar dan pengetahuan atau lingkungan sebagai obyek belajar secara demikian, mendorong pelajar memahami secara kritis sebelum menguasai pengetahuan tersebut, daya alih untuk menggali pengetahuan baru akan lebih memungkinkan. Relevansi pada dimensi ini berhubungan dengan pentingnya pelajar menjelajahi sendiri pengetahuan yang perlu dikuasainya dan mencoba menghubungkan dengan kenyataan hidup disekitarnya.

Relevansi dimensi kedua adalah relevansi psikologi. Sesungguhnya yang kedua ini merupakan kelanjutan dari yang pertama, hanya pada dimensi ini bukan masalah bentuk komunikasi dan cara memperoleh pengetahuan, melainkan berhubungan dengan jenis aktifitas belajar. Mengingat misi utama pendidikan menurut UUD 1945 adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, masalah relevansi yang perlu ditingkatkan pun seyogyanya berhubungan dengan pengembangan proses belajar yang memungkinkan lahirnya manusia terdidik yang cerdas. Kiranya tidak ada yang menyangkal bahwa salah satu cirri manusia yang cerdas adalah berhubungan dengan kemampuan berpikir. Dan untuk melatih kemampuan berpikir, pelajar perlu selalu dihadapkan masalah-masalah yang perlu dipecahkan. Latihan menghadapi masalah yang sulit dengan demikian merupakan cirri dari pendidikan yang relevan, tidak lain karena kehidupan itu sendiri penuh dengan masalah-masalah yang sulit. Berpikir pada perkembangan selanjutnya akan menjadi alat untuk menyesuaikan diri dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapi. Bentuk tertinggi dari berpikir adalah penelaahan secara alamiah (scientific enquiri) . Oleh karena itu, agar pendidikan dapat menjadi relevan secara psikologis, dalam pengertian mengembangkan kemampuan berpikir, pola pendekatan keilmuan sebagai paradigma kegiatan penalaran perlu diterapkan dalam penyelenggaraan proses belajar mengajar. Jelaslah kiranya bahwa pendekatan yang memadai dalam hubungan dengan relevansi psikologis adalah pendekatan belajar aktif. Apakah relevansi kedua hal tersebut dengan makna social kependidikan atau bagi kehidupan masyarakat. Berkembangnya kemampuan berpikir dan memecahkan masalah merupakan modal yang utama untuk memberikan bekal bagi generasi muda dalam menghadapi masyarakat yang selalu berubah. Kemampuan berpikir dan kemampuan memecahkan masalah harus berlangsung dalam suatu lingkungan yang nyata. Karena itu, bila semua masalah dan pokok yang dijadikan obyek belajar berkaitan dengan kehidupan yang nyata, proses belajar akan dapat dijadikan miniature dari kehidupan masyarakat yang luas. Dengan jalan ini, barulah mungkin sekolah sebagai lembaga pendidikan, yang diharapkan menjadi tempat bagi terjadinya proses sosialisasi dan kulturalisasi dapat berlangsung.

III. PENUTUP

Peranan system pendidikan nasional sebagai sub system dari keseluruhan system sosio-kultural Negara Indonesia untuk secara sistematis dan berencana menyiapkan generasi muda menjadi generasi baru terpelajar yang memiliki kemampuan, sikap, ketrampilan dan pengetahuan, serta disiplin sehingga mampu berpartisipasi aktif dalam pembangunan nasional Negara Indonesia. Lembaga pendidikan formal sebagai bagian terpadu dari system pendidikan nasional memiliki peranan yang sangat strategis untuk secara berencana, sistematis dan sinkronistik melaksanakan peranan yang diharapkan dari system pendidikan nasional. Peningkatan peranan sekolah sebagai lembaga sosialisasi nilai dan sikap serta disiplin, baik disiplin diri maupun disiplin lingkungan dalam bentuk kualitas proses belajar dan peningkatan system evaluasi sebagai sarana pendidikan dan proses sosialisasi dipandang sebagai kepentingan nasional yang mendesak dan dapat ditingkatkannya mutu pendidikan nasional yang serasi dengan tuntutan pembangunan nasional.

Akhirnya, dengan rasa syukur Alhamdulillahirobbil ‘alamin penulisan makalah ini dapat terselesaikan. Walaupun masih banyak sekali kekurangan, harapan besar penulis adalah bisa memberikan manfaat, baik untuk diri pribadi maupun pembaca yang budiman. Untuk itu, kritikan dan masukan dari pembaca juga menjadi harapan besar penulis selanjutnya.

REFERENCE:

· William F. O’neil (2001), Ideologi Ideologi Pendidikan, Yogyakarta : Pustaka Pelajar

· Umar Hamalik (2001), Proses Belajar Mengajar, Jakarta : PT. Bumi Aksara

· Ad. Rooijakkers, (1991) MENGAJAR DENGAN SUKSES, Petunjuk untuk Merencanakan dan Menyampaikan Pengajaran, Jakarta : PT Gramedia Widiasarana

· Dr. Soedijarto, MA (1993), Menuju Pendidikan Nasional Yang Relevan dan Bermutu, Jakarta : Balai Pustaka

PENGEMBANGAN TEKNOLOGI INFORMATIKA DAN KOMUNIKASI UNTUK MENINGKATKAN MUTU BELAJAR DAN PEMBELAJARAN DI SEKOLAH

I. PENDAHULUAN

Seluruh aspek kehidupan dewasa ini mengalami perubahan, dan hanya satu hal yang tidak berubah yaitu “perubahan” itu sendiri. Apa yang dipahami orang sebagai suatu pengetahuan yang baku ini dimasa lalu kini mulai terusik, dan dipertanyakan kembali. Seperangkat teori dalam disiplin ilmu apapun, kini mengalami pengkajian ulang, validasi dan bahkan revisi. Apalagi berbagai instrument teknis dan fasilitas dalam kehidupan keseharian kita, terasa begitu dimiliki dan digunakan, telah menjadi kuno atau old fashion. Fenomena yang demikian ini tak terkecuali juga terjadi dalam konteks pendidikan.

Secara umum disepakati bahwa pendidikan merupakan entitas yang mempunyai kontribusi besar untuk mewujudkan adanya perubahan. Yang menarik adalah pendidikan itu sendiri bergumul dengan perubahan dalam dirinya dan perubahan lain yang berada diluar dirinya. Dengan demikian, pendidikan sebenarnya hanya akan berhasil menciptakan perubahan secara terarah dan efektif, jika dia memenangkan pergumulan tersebut. Tegasnya, jika pendidikan justru ditinggalkan oleh perubahan -bertahan pada status quo- tentu akan sulit memerankan fungsinya yang paling vital, yaitu pemberdayaan manusia.

Salah satu tugas utama pendidikan adalah menciptakan adanya perubahan dalam masyarakat menuju kondisi yang lebih baik. Fungsi sosial change ini tentu tidak akan terlaksana dengan baik jika pendidikan mengalami kejumudan dan mempertahankan status quo. Pendidikan pembelajaran yang berlangsung secara alamiyah, dalam arti tanpa didukung oleh inovasi dan perangkat teknologis yang memadai, atau tanpa “dibudidayakan” dan didayakan, tentu akan kesulitan mengimbangi dan menghadapi laju perkembangan masyarakat. Upaya dan hasil monumental dari pembudidayaan dan pemberdayaan pendidikan tersebut adalah dikembangkannya teori-teori belajar dan penggunaan teori komunikasi dalam proses pendidikan. Kedua hal ini telah secara revolusioner dan signifikan mengubah dunia pendidikan. Berbagai tantangan juga harus dihadapi oleh dunia pendidikan yang berhubungan dengan teori komunikasi, yaitu pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi ( TIK ). Sejumlah perubahan paradigma di dalam proses pembelajaran perlu dilakukan agar kita siap memanfaatkan Teknologi Informasi dan Komunikasi ( TIK ) tersebut. Perlu kita ketahui, bahwa TIK bukan hanya komputer dan internet saja, TIK juga melingkupi media informasi seperti radio dan televisi serta media komunikasi seperti telepon maupun telepon seluler dengan SMS, MMS, Music Player, Video Player, Kamera Foto Digital, dan Kamera Video Digital-nya serta e-Book Reader-nya. Jadi banyak media alternatif yang dapat dipilih oleh pengajar untuk menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan dan berkesan. TIK yang termanfaatkan dengan baik dan tepat di dalam pendidikan akan memperluas kesempatan belajar, meningkatkan efisiensi, meningkatkan kualitas belajar, meningkatkan kualitas mengajar, memfasilitasi pembentukan keterampilan, mendorong belajar sepanjang hayat berkelanjutan, meningkatkan perencanaan kebijakan dan manajemen, serta mengurangi kesenjangan digital.

II. PEMANFAATAN TEKNOLOGI DAN INFORMASI (TIK)

Menurut pemanfaatannya, TIK di dalam pendidikan dapat dikategorisasikan menjadi 4 (empat) kelompok manfaat. Pertama, TIK sebagai Gudang Ilmu Pengetahuan, di kelompok ini TIK dimanfaatkan sebagai sebagai Referensi Ilmu Pengetahuan Terkini, Manajemen Pengetahuan, Jaringan Pakar Beragam Bidang Ilmu, Jaringan Antar Institusi Pendidikan, Pusat Pengembangan Materi Ajar, Wahana Pengembangan Kurikulum, dan Komunitas Perbandingan Standar Kompetensi. Kedua, TIK sebagai Alat bantu Pembelajaran, di dalam kelompok ini sekurang-kurangnya ada 3 fungsi TIK yang dapat dimanfaatkan sehari-hari di dalam proses belajar-mengajar, yaitu (1) TIK sebagai alat bantu guru yang meliputi: Animasi Peristiwa, Alat Uji Siswa, Sumber Referensi Ajar, Evaluasi Kinerja Siswa, Simulasi Kasus, Alat Peraga Visual, dan Media Komunikasi Antar Guru. Kemudian (2) TIK sebagai Alat Bantu Interaksi Guru-Siswa yang meliputi: Komunikasi Guru-Siswa, Kolaborasi Kelompok Studi, dan Manajemen Kelas Terpadu. Sedangkan (3) TIK sebagai Alat Bantu Siswa meliputi: Buku Interaktif , Belajar Mandiri, Latihan Soal, Media Illustrasi, Simulasi Pelajaran, Alat Karya Siswa, dan media Komunikasi Antar Siswa. Ketiga, TIK sebagai Fasilitas Pembelajaran, di dalam kelompok ini TIK dapat dimanfaatkan sebagai: Perpustakaan Elektronik, Kelas Virtual, Aplikasi Multimedia, Kelas Teater Multimedia, Kelas Jarak Jauh, Papan Elektronik Sekolah, Alat Ajar Multi-Intelejensia, Pojok Internet, dan Komunikasi Kolaborasi Kooperasi (Intranet Sekolah). Dan Keempat, TIK sebagai Infrastruktur Pembelajaran, di dalam kelompok ini TIK kita temukan dukungan teknis dan aplikatif untuk pembelajaran – baik dalam skala menengah maupun luas – yang meliputi: Ragam Teknologi Kanal Distribusi, Ragam Aplikasi dan Perangkat Lunak, Bahasa Pemrograman, Sistem Basis Data, Komputer Personal, Alat-Alat Digital, Sistem Operasi, Sistem Jaringan dan Komunikasi Data, dan Infrastruktur Teknologi Informasi (Media Transmisi).

Berangkat dari optimalisasi pemanfaatan TIK untuk pembelajaran tersebut diharapkan akan memberi sumbangsih besar dalam peningkatan kualitas SDM Indonesia yang cerdas dan kompetitif melalui pembangunan masyarakat berpengetahuan (knowledge-based society). Masyarakat yang tangguh karena memiliki kecakapan: (1) ICT and media literacy skills, (2) critical thinking skills, (3) problem-solving skills, (4) effective communication skills, dan (5) collaborative skills yang diperlukan untuk mengatasi setiap permasalahan dan tantangan hidupnya.

III. PERAN GURU DAN SISWA

Di dalam proses belajar-mengajar tentunya ada subjek dan objek yang berperan secara aktif, dinamik dan interaktif di dalam ruang belajar, baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Guru dan siswa sama-sama dituntut untuk membuat suasana belajar dan proses transfer of knowledge–nya berjalan menyenangkan serta tidak membosankan. Oleh karena itu penataan peran Guru dan siswa di dalam kelas yang mengintegrasikan TIK di dalam pembelajaran perlu dipahami dan dimainkan dengan sebaik-baiknya. Kini di era pendidikan berbasis TIK, peran Guru tidak hanya sebagai pengajar semata namun sekaligus menjadi fasilitator, kolaborator, mentor, pelatih, pengarah dan teman belajar bagi Siswa. Karenanya Guru dapat memberikan pilihan dan tanggung jawab yang besar kepada siswa untuk mengalami peristiwa belajar. Dengan peran Guru sebagaimana dimaksud, maka peran Siswa pun mengalami perubahan, dari partisipan pasif menjadi partisipan aktif yang banyak menghasilkan dan berbagi (sharing) pengetahuan/keterampilan serta berpartisipasi sebanyak mungkin sebagaimana layaknya seorang ahli. Disisi lain Siswa juga dapat belajar secara individu, sebagaimana halnya juga kolaboratif dengan siswa lain.

Untuk mendukung proses integrasi TIK di dalam pembelajaran, maka Manajemen Sekolah, Guru dan Siswa harus memahami 9 (sembilan) prinsip integrasi TIK dalam pembelajaran yang terdiri atas prinsip-prinsip:

[1] Aktif: memungkinkan siswa dapat terlibat aktif oleh adanya proses belajar yang menarik dan bermakna.

[2] Konstruktif: memungkinkan siswa dapat menggabungkan ide-ide baru kedalam pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya untuk memahami makna atau keinginan tahuan dan keraguan yang selama ini ada dalam benaknya.

[3] Kolaboratif: memungkinkan siswa dalam suatu kelompok atau komunitas yang saling bekerjasama, berbagi ide, saran atau pengalaman, menasehati dan memberi masukan untuk sesama anggota kelompoknya.

[4] Antusiastik: memungkinkan siswa dapat secara aktif dan antusias berusaha untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

[5] Dialogis: memungkinkan proses belajar secara inherent merupakan suatu proses sosial dan dialogis dimana siswa memperoleh keuntungan dari proses komunikasi tersebut baik di dalam maupun luar sekolah.

[6] Kontekstual: memungkinkan situasi belajar diarahkan pada proses belajar yang bermakna (real-world) melalui pendekatan ”problem-based atau case-based learning”

[7] Reflektif: memungkinkan siswa dapat menyadari apa yang telah ia pelajari serta merenungkan apa yang telah dipelajarinya sebagai bagian dari proses belajar itu sendiri.

[8] Multisensory: memungkinkan pembelajaran dapat disampaikan untuk berbagai modalitas belajar (multisensory), baik audio, visual, maupun kinestetik

[9] High order thinking skills training: memungkinkan untuk melatih kemampuan berpikir tingkat tinggi (seperti problem solving, pengambilan keputusan, dll.)

III. KESIMPULAN DAN PENUTUP

Sebagaimana kita ketahui bersama, tantangan terbesar negara kita dalam mencerdaskan bangsa adalah akses setiap masyarakat Indonesia ke sumber-sumber pengetahuan dan informasi pendidikan. Dan sebentar lagi kita akan meninggalkan abad ke 20 ini dan segera memasuki millennium ke 3. Pada era yang modern ini segala sesuatu berubah dengan cepat. Yang tidak berubah hanyalah perubahan itu sendiri. Apalagi nanti pada era pasca modern. Yang jelas dunia pendidikan akan segera memasuki pasar bebas. Pada saatnya nanti ‘bebas’ di sini, tidak hanya berlaku bagi pasar, komoditi, jasa, kualitas, dan kuantitas yang terkait langsung dengan sector ekonomi industry, namun juga dalam sector-sektor lain yang lebih luas, termasuk dalam pendidikan dan agama. Untuk itu kita yang terlibat dalam dunia pendidikan mempunyai pekerjaan besar yang sangat menantang.

Seiring dengan hal tersebut, kemajuan dalam bidang teknologi informatika sudah sedemikian cepat, dan nyaris tak terkejar oleh dunia pendidikan. Meskipun ini bisa diklaim sebagai hasil proses pendidikan. Seperti halnya computer, sudah tidak lagi merupakan barang mewah, namun sudah menjadi komoditi yang terjangkau hamper oleh semua lapisan masyarakat. Komunikasi global melalui Cyberspace sudah menjadi aktifitas harian yang dilakukan oleh berjuta-juta orang. Hal ini telah mengubah tuntutan kemampuan dasar dari sekedar “melek huruf” menjadi “melek computer” atau bahkan teknologi yang lain seperti internet, telephone seluler, VCD, dll. Ini sekali lagi menjadi salah satu agenda penting dalam dunia pendidikan.

Mencermati terhadap fenomena tersebut, rasanya tidak terelakkan lagi kebutuhan dan keharusan akan adanya teknologi informasi dan komunikasi pendidikan (TIK) : pemanfaatan dan penerapannya sebagai proses maupun produk dalam dunia pendidikan secara missal. “Gerakan” ini dapat dimulai dengan penyadaran terhadap pihak yang terlibat dengan pendidikan akan adanya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dan arti pentingnya dalam pendidikan. Setelah itu, mereka perlu diberdayakan baik dalam aspek pengetahuan, ketrampilan maupun akses terhadap teknologi. Kata kunci pemberdayaan berarti menyangkut factor manusianya. Sehingga apa yang direncanakan dalam meningkatkan mutu belajar dan pembelajaran bisa tercapai dengan, pemanfaatan, penerapan, dan pengembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK).

Sudah barang tentu dalam penulisan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna, namun penulis berharap makalah ini bisa bermanfaat dan sedikit sebagai sumbangsih pemikiran terhadap proses pendidikan.


DAFTAR PUSTAKA

Anderson, R.H, (1987) Pemilihan dan Pengembangan Media untuk Pembelajaran Rajawali, Jakarta

Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, (1998) PBM-PAI DI SEKOLAH, Eksistensi Proses Belajar Mengajar Pendidikan Agama Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta

http://kwarta.wordpress.com